Uang rupiah merupakan alat tukar, standar utang dan garansi penanggung utang, yang berlaku dan digunakan secara umum di wilayah Republik Indonesia.
Demikian praktisnya kita memaknai, mendidik dan menggunakan rupiah dalam menggerakan kehidupan sosial sehari-hari. Baik dalam ruang lingkup keluarga, lingkungan masyarakat, maupun Negara.
Lebih dalam lagi (filosofi), ternyata rupiah tidak sekadar apa yang disebutkan di atas, melainkan sebuah pilar utama (setelah pemerintahan) yang menopang kehidupan bangunan Negara Republik Indonesia. Ia merupakan monumen kedaulatan.
Mobilitas dari kepercayaan, keyakinan, serta harapan baru bagi bangsa Indonesia (dan Internasional) atas segala usaha pencapaian kemerdekaannya.
Maka dapat dipahami bila rupiah adalah sebuah instrumen inti dalam mengejewantahan sila ke lima pada Pancasila; Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia.
Sebab itu juga yang mendasari pemerintah Republik Indonesia (setahun setelah proklamasi kemerdekaan), mengeluarkan dan memberlakukan uang rupiah-nya pada tanggal 30 Oktober 1946.
Dengan menghapus uang Jepang yang sebelumnya beredar pada saat itu menjadi rupiah sebagai tanda dari kemerdekaan negara.
Rupiah yang selanjutnya digunakan untuk memperbaiki kehidupan bagi (upah) buruh, menaikkan harga produksi pertanian, nelayan, gaji pegawai rendahan—di tengah penderitaan akibat inflasi yang terjadi pada uang Jepang.
Kemudian pemerintah melanjutkannya dengan menetapkan harga kebutuhan pokok sehari-hari sebagai pedoman masyarakat.
Yang dalam praktiknya memiliki peranan mendidik masyarakat agar disiplin, solidaritas, dan bertanggungjawab bersama-sama menjaga keselamatan bangsa dengan; untuk tidak melakukan penyimpangan pada pedoman harga yang telah ditetapkan tersebut, guna kepentingan pribadi dan kelompok, hingga dapat mengacaukan perekonomian Negara.
Selain itu, rupiah juga merupakan sebuah produk kebudayaan amat penting bangsa Indonesia, dengan fungsinya sebagai penyulut kesadaran kolektif yang bertujuan terbentuknya karakter bangsa.
Hingga terciptanya identitas diri (bangsa) yang memantulkan etos kerja kolektivitas, serta mampu berdayasaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Penjabaran semua ini dapat ditelaah dalam pidato radio Bung Hatta, sehari sebelum pemberlakuan Rupiah sebagai mata uang yg sah beredar di republik Indonesia (29/10/1946).
Rupiah dan Sejarah Singkatnya
Dalam catatan sejarah pembuatannya, rupiah juga menyimpan cerita perjuangan yang melelahkan. Di mana realisasi pemikiran mengeluarkan mata uang sendiri, pasca bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, harus terganjal.
Tiga kelompok kerja dengan tugasnya masing-masing dibentuk. Dan ditargetkan selambat-lambatnya bulan Januari 1946 telah dikeluarkan mengalami kegagalan, karena di Surabaya (tempat pencetakan) terjadi pertempuran melawan pendudukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).
Dengan segala keterbatasannya, akhirnya pencetakan uang dilakukan di tempat lain dengan memakan waktu yang lama. Sementara pemerintah Republik Indonesia selanjutnya mengambil tindakan mengurangi secara berangsur-angsur jumlah uang Jepang yang beredar.
Pun bulan pertama setelah proklamasi harga-harga kebutuhan pokok berangsur berhasil turun. Namun celakanya, lebih dari 2 milyar uang Jepang (jumlahnya lebih banyak dari yang beredar di pulau Jawa) dirampas NICA, kemudian dihamburkan kepada masyarakat.
Karena itu inflasi hebat terjadi. Sementara uang Republik pada saat itu masih dalam proses pencetakan. Dan baru pada tanggal 30 Oktober 1946, kemudian pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengeluarkannya.
Kemana Teladan?
Pada 30 Oktober 2012, genap 66 tahun rupiah kita berlaku di negeri ini. Sepanjang sejarahnya hingga kini, ia juga mengalami guncangan-guncangan (krisis ekonomi) yang maha dasyat.
Dan bersyukurnya prinsip disiplin, solidaritas, dan bertanggungjawab masyarakat kecil untuk bersama-sama menjaga keselamatan bangsa masih dipegang teguh.
Rupiah tetap mereka gunakan. Produksi barang tetap mereka ciptakan, pasar tradisional tetap bergerak, sehingga guncangan-guncangan maha dasyat itu hanya menjatuhkan "genting-genting" Negara saja.
Di era pasar bebas seperti sekarang, tentunya transaksi global dengan menggunakan mata uang asing seperti dolar, merupakan bbagian yg tak dapat dihidari. Sehingga bagi para pebisnis yg berhubungan langsung dengan rutinitasnya kepada Negara-negara lain, umumnya menjadikan dolar sebagai alat transaksi atau deposito utamanya.
Hal itu juga lebih disebabkan karena "ketidakmampuan" bangsa ini menciptakan beragam produk industri, sehingga barang tersebut harus diimport dari luar. Kalaupun ada, produk industri buatan sendiri itu malah dihargai sebagai pilihan nomor "buncit" untuk dibeli.
Maka menjadi wajar ketika dolar kian digandrungi (masyarakat kelas atas) dan memiliki strata tersendiri bagi penggunanya di tanah air sebagai deposito, yg tanpa disadari memberikan efek buruk terhadap eksistensi rupiah.
Atau mungkin diam-diam mereka malah "berdoa", berharap agar nilai rupiah melorot tajam dan keuntungan pun dapat diraup dengan sebesar-besarnya, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi pada tahun 1998 lalu. Dan selanjutnya "mendaulat" dolar sebagai bisnis investasi yg subur dan menggiurkan. Entahlah!
Sebagai orang awam, penulis merasa begitu heran, ketika para elit calon pejabat pejabat negara yang secara diam-diam juga mulai menggandrungi dolar dalam rekening pribadinya.
Mereka yang sebelumnya (berusaha) mencerminkan integritas kebangsaan yang tinggi, tiba-tiba harus tercedrai nilainya di mata masyarakat—pada saat daftar kekayaannya diumumkan ke muka publik guna memenuhi persyaratan administrasinya sebagai calon pejabat negara.
Baik itu di pilkada, pilpres atau lainnya, sebab tercantum pundi-pundi dolar di dalamnya. Tentunya transaksi global akan menjadi dalil pembenaran atas itu semua.
Marilah sejenak kita menengok masa lalu—sebelum kita menerapkan tren dolar sebagai budaya global yang memang tak bisa dihindarkan, dengan berupaya sekeras-kerasnya meninggikan derajat rupiah sebagai pijakan utamanya.
Mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan berproduksi (karya), bertransaksi (jual-beli) dan mengivestasikan rupiah-nya pada sektor rill di negeri sendiri.
Meresapi benar-benar pemaknaan rupiah dengan tidak sekadar praktisnya saja, melainkan disertakan dengan penghayatan filosofinya juga.
Seperti apa yg Bung Hatta katakan, "Saat keluarnya uang Republik (rupiah) adalah saat yang bersejarah, yang mengandung harapan. Janganlah saat itu hanya hidup dalam ingatan kita sebagai kenang-kenangan yang baik, tetapi hendaklah ia hidup dalam perbuatan kita semuanya sebagai pembangunan Negara dan masyarakat! (29/10/1946)." Dirgahayu Rupiah Indonesia!
Ichdinas Shirotol Mustaqim, Sekjen Komunitas Anak Muda Cinta Indonesia
Sumber : Detik