Dalam masyarakat Aceh terdapat persenjataan yang beragam. Senjata tersebut bukan saja sebagai persenjataan perang, melainkan juga sebagai kelengkapan dalam upacara-upacara adat. Di antara persenjataan yang ada, hanya reuncong yang diakui sebagai lambang yang mewakili daerah Aceh. Reuncong adalah hasil budaya Aceh yang berakar dari pengaruh Islam, bentuknya menyerupai padanan kata bismillah.
Reuncong tidak hanya berfungsi sebagai senjata dan kelengkapan upacara, tetapi juga merupakan benda pusaka yang bernilai tinggi dan merupakan satu di antara perlengkapan yang lazimnya tidak ditinggalkan oleh orang Aceh yang sedang melakukan perjalanan. Desain reuncong pun memiliki arti penting, karena memantulkan lingkungan kultural yang dihubungkan dengan status sosial masyarakat Aceh. Dengan demikian, reuncong menempati kedudukan dan arti penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh dan merupakan satu di antara identitas keacehan.
Reuncong pada mulanya berasal dari pisau yang digunakan secara praktis, kemudian dikembangkan penggunaannya bagi hal-hal yang bersifat magis-religius. Seorang pandee beusoe (pandai besi), selain dapat membuat senjata dalam bentuk yang indah, ia juga dituntut agar membuat bentuk senjata yang dapat membahayakan musuh ketika menikam.
Ada kemungkinan bahwa senjata tikam yang serupa telah ada jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Aceh. Selanjutnya, senjata tersebut diagungkan dengan mempersamakan bentuk reuncong dengan bentuk-bentuk aksara Arab, yaitu bismillah. Mubin Sheppard, seorang ahli di bidang budaya Rumpun Melayu, mencatat bahwa senjata tikam abad ke-1 Masehi yang berasal dari daerah Dong Son di Teluk Tonkin, boleh jadi merupakan cikal-bakal senjata semacam keris. Perbedaan antara keris dan reuncong terletak pada mata keris yang berombak dan terasah pada kedua belah sisinya. Sheppard juga menyebutkan bahwa belati yang hanya terasah pada satu sisi adalah hal yang umum di antara bangsa-bangsa rumpun Melayu.
Meningkatnya kekuatan militer Aceh di kawasan bangsa-bangsa Melayu, maka kelengkapan persenjataan menjadi penting pula. Terjadinya hubungan antarnegara dengan bangsa-bangsa lain, baik Barat maupun Timur, dimungkinkan bentuk reuncong merupakan akibat pengaruh dari berbagai negara tersebut, khususnya Turki dan India. Bentuk mata reuncong terdapat persamaan dengan pedang Turki yang disebut kilij. Belati milik Sultan Mahmud I yang dibuat dari batu zamrud mempunyai bentuk melengkung yang sama seperti reuncong. Bangsa Moghul juga mempunyai senjata scimitar, mengingatkan orang pada bentuk reuncong, walaupun berukuran lebih pendek.
Perkembangan reuncong juga terjadi pada abad ke-16, Sultan al-Kahar (1537—1568 Masehi) menjalin hubungan dengan Khalifah Othmaniah di Turki. Pada tahun 1563 Masehi sultan Aceh mengirim seorang utusan yang bernama Husin ke Kerajaan Turki. Perutusan Aceh dapat dikatakan berhasil, suatu keputusan Sultan Turki, Selim II, bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Aceh. Akhirnya, pihak Turki bersedia mengirim bantuan kepada Aceh berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal tersebut. Di antara orang Turki itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang dan ahli membuat senjata, seperti reuncong.
Selain itu, diketahui pula bahwa pada abad ke-18 Masehi, reuncong sudah umum digunakan di Aceh. Hal itu seperti disebutkan dalam sebuah karya sastra (Hikayat Pocut Muhammad), yaitu sebuah naskah yang menceritakan tokoh pahlawan Pocut Muhammad. Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa Pocut Muhammad memberikan perintah pembuatan senjata reuncong bagi kebutuhan perang. Contoh-contoh reuncong abad ke-17 dan ke-18 dapat dilihat di museum militer Praha, Cekoslowakia. Museum Nasional Jakarta menyimpan contoh-contoh reuncong terindah pada abad ke-19. Reuncong-reuncong tersebut dihias dengan ukiran kaligrafi Arab bertuliskan ayat-ayat suci Alquran. Reuncong yang pernah digunakan oleh Cut Nyak Dien saat ini tersimpan di Den Haag. Negeri Belanda khusus menyimpan koleksi terindah jenis senjata-senjata dari Aceh, sebagai hasil rampasan perang.
Kepahlawanan
Provinsi Aceh, dahulunya sarat dengan berbagai konflik. Penyebab konflik beragam, tetapi pada hakekatnya orang Aceh melawan terhadap mereka yang berhasrat untuk mengganggu ketentramannya.
Setiap perang yang melibatkan Aceh tersebut berlangsung secara unik. Sejak perang melawan Portugis, Belanda, Jepang, dan perang dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, ideologi perang sabil muncul sesuai dengan karakter masyarakat Aceh yang Islami. Hal demikian disebabkan perang dalam melawan mereka yang dianggap penjajah merupakan jihad fisabilillah. Konsep perang sabil dipergunakan oleh para pemimpin Aceh untuk dijadikan sebagai basis ideologi dan dijadikan sebagai salah satu faktor yang menentukan ketika melawan penjajah.
Melalui hikayat-hikayat perang sabil yang dalam istilah Aceh disebut Prang Sabi, para pemimpin Aceh, khususnya pemimpin agama mencoba memotivasi rakyat untuk melawan penjajahan yang disebut kaphe (kafir). Dengan khutbah-khutbah pada setiap hari Jumat di mesjid-mesjid dan pembacaan hikayat-hikayat perang sabil di meunasah-meunasah serta di dayah-dayah, para ulama dapat menunjukkan dengan lebih mantap, bahwa jihad fisabilillah adalah perbuatan mulia dan adil. Adanya perpaduan antara ulama dan umara dalam masyarakat Aceh pada waktu itu, yang diistilahkan antara hukom dan adat sudah menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan sebab mengapa perang itu dapat berlangsung cukup lama.
Keampuhan dan kesaktian reuncong telah dibuktikan oleh rakyat Aceh dalam perjuangan melawan penjajahan. Tidak sedikit musuh yang menemui ajalnya di ujung reuncong, dan ini sangat dikagumi dan ditakuti oleh musuh dalam menghadapi pejuang Aceh.
Pada masa perjuangan melawan penjajahan, nilai-nilai keislaman yang dikaitkan pada reuncong erat hubungannya dengan penggunaan reuncong dalam berjihad. Pemilik reuncong beranggapan bahwa kekuatan senjatanya diisyaratkan seperti kekuatan Allah melalui kalimat bismillah. Reuncong juga dianggap sebagai senjata yang berilmu, dalam artian bahwa reuncong merupakan senjata yang bertuah.
Ketangguhan, kegigihan, kepahlawanan, serta keberanian rakyat Aceh dalam menghadapi musuh-musuh inilah salah satu sebab Aceh dijuluki sebagai Tanah Reuncong, suatu senjata khas Aceh yang digunakan dalam peperangan melawan musuh-musuhnya. Tidaklah berlebihan apabila seorang penulis Belanda, Karel van Der Maaten, menyatakan bahwa watak berperang bangsa Aceh ialah unik dan inilah yang membedakannya dengan suku-suku bangsa lain di Nusantara. Demikian pula Hoijeer dalam karyanya, Krijgsgeschiedenis, mengatakan bahwa perang dengan masyarakat Aceh merupakan pelajaran yang baik bagi serdadu-serdadu Belanda di Aceh. Tentunya hal ini juga berlaku bagi siapa saja yang mengganggu ketentraman Aceh. Oleh karena itu, belajarlah dari sejarah, karena sejarah mengajarkan kita agar lebih arif dan bijaksana.
Sudirman, PNS pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh-Sumut
Sumber : Serambi Indonesia
Sumber : Serambi Indonesia