PERTEMPURAN hebat di Surabaya pada 10 November 1945 semestinya tak hanya menjadi kenangan sejarah semata. Semangat arek-arek Surabaya dengan gelora sura ing bhaya (keberanian menghadapi bahaya) dalam perjuangan revolusi mengusir penjajah hendaknya diteladani oleh bangsa Indonesia saat ini, khususnya kaum muda, dalam melawan bentuk penjajahan kontemporer.
Williah H. Frederick dalam Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946) menggambarkan betapa perang yang “berlangsung selama tiga minggu secara mengerikan” itu membuat Surabaya “diluluhlantakkan oleh peluru meriam yang dilancarkan terus-menerus dari kapal-kapal perang yang ditempatkan di utara dan timur”.
Dan “dalam tiga hari pertama saja, lebih dari 500 bom dijatuhkan” sehingga menimbulkan “kerusakan luar biasa” berupa “lubang-lubang besar di wilayah perdagangan serta pemukiman”. Namun dengan penuh semangat, “pasukan Indonesia berusaha manahan gerak maju pasukan Sekutu ke dalam kota dengan cara membakar seluruh wilayah perkampungan” (Frederick, 1989: 355).
Sebelum peringatan Hari Pahlawan Nasional, kita juga baru memperingati Hari Sumpah Pemuda. Lalu, semangat apa yang bisa dihasilkan dari peleburan penghayatan terhadap dua momen sejarah itu untuk menyongsong peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati pada 9 Desember?
Tiga momen penting ini –Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan Nasional, Hari Antikorupsi– hendaknya bisa melahirkan sebuah gelora: semangat kepahlawanan kaum muda dalam memberantas korupsi tanpa ampun!
Jika Belanda dan Jepang menjajah dengan merampas sumber daya alam Indonesia dan menyiksa warga pribumi, maka para koruptor menjajah dengan merampok duit negara yang seharusnya dipakai untuk kepentingan bangsa. Korupsi memang tampaknya tak mengerikan seperti perang dengan ledakan-ledakan bom. Tetapi, perlahan, dampaknya akan membangkrutkan negara. Negara yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang-orang yang mengalami kebangkrutan moral, cepat atau lambat, akan rusak.
Masalahnya, kebangkrutan moral itu tak hanya menjangkiti kaum tua, tapi merambah pula pada perilaku kaum muda. Tak ada jaminan bahwa kaum muda tak akan korupsi. Contohnya korupsi yang dilakukan Muhammad Nazaruddin, seorang anak muda yang karier politiknya sudah hancur.
Sebab korupsi tak mengenal usia, maka pemberantasannya tak mengenal usia juga. Jika mereka yang berusia tua dan muda sama-sama punya kemungkinan untuk melakukan praktik korupsi, maka pemberantasannya pun harus turut melibatkan siapa saja yang benci korupsi, tak perlu mempertimbangkan usia.
Namun kaum muda punya posisi yang paling menentukan. Korupsi tetap akan langgeng di negeri ini kalau generasi penerus (baca: kaum muda) tak punya kemauan dan semangat memberantas korupsi. Korupsi tetap akan terus ada ketika koruptor yang ada saat ini mati dan digantikan oleh koruptor generasi baru. Berbahaya jika mati satu koruptor, tumbuh seribu koruptor lainnya.
Sebaliknya, jika kaum muda –sebagai pengganti kaum tua yang akan masuk kubur– menganggap korupsi adalah kegemaran kotor kaum tua yang tak boleh ditiru, semangat seperti itu akan membawa dampak positif terhadap pemberantasan korupsi. Bayangkan bila suatu saat nanti, di bawah kepemimpinan kaum muda, korupsi di Negara ini menghilang tanpa harus diberantas, tetapi karena memang tak ada lagi yang mau korupsi. Indah rasanya.
Ini memang khayalan. Korupsi tetap akan ada selama manusia hidup. Sebab ketamakan, kejahatan atau kebusukan laku merupakan hal yang memang melekat pada (tidak semua) manusia, maka korupsi akan tetap ada. Membendungnya tentu harus dengan menumbuhkan daya proteksi diri. Selain melalui pemberantasan yang dilakukan dengan semangat luar biasa, melawan korupsi juga bisa dengan mencegah diri untuk tak terlibat dalam kejahatan luar biasa itu.
Membangun sistem yang kuat untuk menyumbat korupsi memang perlu. Tetapi tanpa mengubah perilaku korup para penyelenggara negara, sistem itu akan dibobol. Kalau demikian adanya, salah satu kesimpulan yang bisa didapati adalah: korupsi dijalankan oleh orang-orang berwawasan, yang berintelektual. Mereka cerdas, tetapi menderita kebangkrutan moral sehingga kecerdasannya digunakan bukan untuk kebajikan, tetapi untuk kejahatan.
Dalam hal ini, pendekatan kelembagaan dan perilaku harus sama-sama dikedepankan dalam memberantas korupsi. Jika perilaku penyelenggara negara tak korup, sementara sistem yang ada memiliki celah, maka korupsi bisa terjadi. Korupsi tidak hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan.
Korupsi sama berbahayanya dengan ledakan 500 bom. Bahkan bias lebih berbahaya. Tetapi efeknya memang tak langsung: negara akan hancur perlahan-lahan. Sebagai penjajah, koruptor memang tak membawa senapan. Senjata andalan mereka adalah fulus. Senjata itu digunakan untuk melumpuhkan iman penegak hukum. Penegak hukum yang mudah tergoda rayuan koruptor akan melanggar sumpahnya. Koruptor menyuap untuk menyelamatkan diri. Mereka menyuap hakim agar bias bebas dari dakwaan.
Oleh karena itu, semangat mencegah dan memberantas korupsi ada baiknya dibangun dengan menghayati semangat juang para pahlawan pengusir penjajah. Ketika koruptor semakin bertambah jumlahnya, maka pahlawan antikorupsi harus dicetak sebanyak mungkin: bisa melalui sekolah, institusi agama, peruguran tinggi, atau keluarga.
Pahlawan antikorupsi bukan pimpinan atau anggota KPK semata. Tetapi siapa saja yang menjadikan korupsi sebagai musuh, dan punya keinginan kuat untuk mencegah dan memberantasnya, bias disebut pahlawan pemberantas korupsi. Mereka bisa jadi adalah tukang becak, tukang bangunan, murid sekolah dasar, nelayan, penyanyi dangdut, tukang pangkas rambut, dan sebagainya.
Pahlawan pemberantas korupsi adalah mereka yang mampu mencegah diri untuk tak korupsi. Mereka juga adalah orang-orang yang sura ing bhaya dalam memberantas korupsi. Bahaya itu misalnya adalah difitnah, dikriminalisasi, bahkan dibunuh koruptor.
Penjajahan korupsi yang semakin merajalela harus diperangi dengan mencetak pahlawan-pahlawan muda yang siap menghadapi risiko besar dari serangan koruptor!
Bisma Yadhi Putra, Anggota Bidang Kajian Politik pada Sekolah Demokrasi Aceh Utara
Sumber : Okezone