• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments





PRO-KONTRA yang terjadi pasca pengesahan Qanun Lembaga Wali Nanggoe (LWN) sampai menuai ancaman penolakan terhadap pengesahan Qanun tersebut, bahkan ancaman akan memekarkan Provinsi Aceh. Kita menyayangkan kalau seandainya protes terhadap tidak dicantumkannya syarat bisa baca Alquran secara ekplisit (tertulis), bisa mengakibatkan penundaan kembali implementasi Qanun LWN sebagai amanah MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM pasca konflik puluhan tahun.


Menurut catatan penulis, Qanun tersebut sudah pernah dibahas dengan menguras waktu, tenaga, pikiran dan dana yang besar oleh DPRA periode 2004-2009, tapi batal diimplementasikan karena masih dikabulkannya protes-protes dari sebagian pihak. Sebenarnya ada apa di balik dari protes terhadap tidak ditulisnya syarat baca Alquran bagi Wali Nanggroe? Apa pula urgensinya syarat ini bagi calon pemimpin Aceh seperti yang sudah berlaku bagi calon kepala daerah mulai dari calon Bupati/Wakil, Wali Kota/Wakil dan Gubernur/Wakil?

 Masa kesultanan
Pada masa Kesultanan, penulis belum menemukan adanya syarat bisa baca Alquran bagi calon Sultan. Yang penulis dapatkan sebagaimana yang tertulis dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi, pemimpin di Aceh pada masa itu, mulai dari tingkat bawah sampai ke atas disyaratkan Ahli Tauhid, Fiqh, Tasauf dan Mantik. Syarat ini tentunya lebih tinggi dari cuma sekadar bisa baca Alquran, apalagi versi syarat kelulusan calon kepala daerah yang dibuat oleh KIP yang jauh dari standar ilmu Tajwid.

Kalau kita merujuk literatur ulama besar seperti Al Mawardi, misalnya, menyebutkan syarat-syarat menjadi pemimpin dalam karyanya al Ahkam al-Sultaniah wa al-Wilayah al-Diniah di antaranya:

Memiliki sifat al-’adalah (adil dalam pengertian luas), mempunyai ilmu untuk berijtihad dalam menghadapi masalah dan mampu memberikan pendapat hukum, sempurna panca indera, tidak cacat yang bisa menghalangi melakukan kegiatan, mempunyai keberanian dan kekuatan, berketurunan mulia dari suku Quraisy.

Imam Al-Haramain juga mengemukakan pendapat yang hampir serupa dengan Imam Al Mawardi. Beliau menyebutkan di antara syarat pemimpin adalah memiliki kemampuan melakukan tugas-tugas untuk kemaslahatan umat dan mengawasinya, ahli ijtihad, memiliki pandangan yang bijak dalam menilai rakyatnya. Sementara Imam Al Ghazali dalam al-Iqtishab fil-I’tiqad menyebutkan syarat pemimpin yaitu merdeka (bukan budak), laki-laki, mujtahid, melihat, adil, baligh, dan pendapat-pendapat serupa dari ulama lain.

Penulis belum menemukan tentang adanya penyebutan syarat bisa membaca Alquran dalam literatur mereka. Namun ketika syarat ini tidak disebutkan, bukan berarti pemimpin waktu itu tidak bisa membaca Alquran. Karena gelar mujtahid yang mereka sandang dan kemampuan mengambil keputusan hukum menurut syara’, tentunya sudah pasti memiliki kemampuan membaca Alquran dan ini sudah ada secara implisit (terkandung di dalamnya meskipun tidak disebutkan sebagai syarat).

 Pengetahuan dan wawasan
Kembali kepada protes terhadap isi Qanun LWN yang tidak mencantumkan syarat bisa baca Alquran secara tertulis kepada calon Wali Nanggroe walaupun secara implisit (tersirat), syarat ini sudah ada dari penyebutan “Syarat Wali Nanggroe harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas”, baik ilmu agama dan umum tentunya. Logikanya, tidak mungkin memiliki pengatahuan ilmu agama yang luas, sementara baca Alquran saja tidak bisa. Kalau ada yang mengatakan bahwa bisa baca Alquran akan dekat dengan Alquran maka hal ini perlu kajian dan penelitian mendalam. Apa bisa dipastikan pemimpin yang sudah bisa membaca Alquran akan dekat dan mengamalkan isi kandungan Alquran?

Oleh karena itu maka penyebutan syarat cuma mampu baca Alquran bagi pemimpin Aceh sekarang ini sangat ringan dan tidak strategis untuk mecapai tujuan agar ia mengamalkan isi kandungan Alquran. Apalagi kalau kita mempedomani pendapat ulama yang menyatakan hukum bisa membaca Alquran adalah sunat, kecuali ayat atau surat yang menjadi rukun shalat seperti bisa membaca surat Al-Fatihah dengan benar menurut ilmu tajwid. Jadi syarat ini yang belakangan berlaku untuk calon kepala daerah cuma satu kearifan lokal, mungkin karena mengingat banyak masyarakat Aceh yang tidak lagi bisa membaca Alquran. Dengan adanya syarat ini maka ratusan “tokoh” yang ingin mencalonkan jadi pemimpin di Aceh dalam setiap periode “terpaksa” akan belajar bisa membaca Alquran sekedar terpenuhi syarat kelulusan sebagai kontestan Pilkada.

Yang anehnya lagi dari protes ini, ketika tidak dicantumkan secara ekplisit syarat bisa shalat lima waktu, bisa puasa, bisa zakat dan haji, bahkan syarat mampu bersuci seperti mandi hadas besar bagi Wali Nanggroe tidak ada seorang pun yang protes di media. Padahal ini wajib dipahami oleh semua umat Islam, apalagi seorang pemimpin. Untuk apa bisa baca Alquran kalau mandi hadas besar saja tidak bisa, bahkan menyentuhnya saja haram apalagi membaca. Sekali lagi, protes ini hemat penulis sarat dengan kepentingan politik kelompok tertentu, bukan murni karena cinta kepada Alquran.

Dan kurang relevan kalau syarat pemimpin Aceh cuma bisa membaca Alquran sementara syarat kemampuan memahami ajaran Islam tidak ada, seperti kemampuan membaca dan memahami kitab gundul klasik (tanpa baris) seperti kitab al Bajuri, Fathul Muin, Mahalli dan sejenisnya, karena di sinilah akan mudah didapatkan ilmu yang aplikatif dan mudah diamalkan. Atau syarat kemampuan membaca kitab Jawi yang muktabar seperti kitab lapan, khifayatul awam.

 Sudah lebih maju
Sudah sepantasnya ke depan syarat bisa baca Alquran dialihkan kepada siswa yang akan lulus SD/sederjat mengingat semua anak Aceh akan menginginkan lulus SD. Aceh mesti merasa malu, Provinsi lain yang tidak mengaku menerapkan syariat Islam tapi sudah lebih maju dengan mencanangkan syarat bisa baca Alquran bagi lulusan SD untuk memberantas buta huruf aksara Alquran. Belum lagi syarat yang dibuat di negara Timur Tengah sana, siswa tidak cuma sekadar mampu membaca Alquran tapi juga menghafal beberapa juz sebagai syarat kelulusan.

Penulis bukan menolak syarat bisa baca Alquran untuk calon pemimpin. Tapi penulis berkeinginan agar nantinya syarat ini ditingkatkan lagi. Dan penulis optimis ke depan DPRA akan merevisi Qanun tersebut; Wali Nanggroe, kepala daerah tidak sekadar bisa baca Quran tapi juga paham ilmu Tauhid, Fiqh, Tasauf dan Mantik layaknya syarat Tuha Peut dan Tuha Lapan yang harus ahli ke empat ilmu ini sebagai penasehat Wali Nanggroe.

Tgk. Mukhtar Syafari Husin, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat-Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA), Juru Bicara Rabithah Thaliban Aceh, Alumni Dayah MUDI dan STAI Al-Aziziyah Samalanga.
Sumber : Serambi Indonesia

Categories:

Leave a Reply