• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments

Pengesahan Qanun Wali Nanggroe oleh DPRA pada hari Jum’at (2/11) lalu, telah menuai pro-kontra dari beragam komunitas di Aceh maupun mancanegara terutama mereka yang berdarah Aceh. Tentunya ada yang mendukung, dan ada juga yang menolak dengan beragam alasannya masing-masing.


Tulisan ini tanpa bermaksud mendukung atau menolak salah satu golongan, tetapi setidaknya saya memiliki satu tawaran konsep “Wali” yang  memiliki peranan posisi yang tinggi dalam sistem pemerintahan di Aceh dan memiliki kewibawaan sebagai wali yang sebenarnya, tidak hanya sebagai simbol singa ompong dengan hanya menguntungkan sebagian golongan dan menjadi parasit bagi golongan lainnya.

Istilah Wali dalam Islam dikenal juga sebagai sebutan bagi orang yang memiliki kemulyaan yang tinggi dan begitu “dekat” dengan Allah sang pencipta dengan ibadah dan nilai nilai spritual yang mereka miliki hingga dikenal istilah “waliyullah”. Bahkan Al Yusi dalam Hasyiyah Kifayat Al Awam menukilkan satu pandangannya tentang kriteria seorang wali dengan 4 syarat yang dimilikinya.

Pertama; Seorang wali adalah orang yang mendalam pemahamannya (al- arif) dengan ushuluddin (pondasi agama). Karena dengan ketentuan pertama ini seorang wali bukanlah sebatas orang bertuhan semata, tetapi memiliki pemahaman tauhid yang tinggi yang dapat membedakan adalah yang haq dan bathil dalam tauhid.

Kedua, seorang wali itu disyaratkan mendalam pengetahuannya tentang hukum syariat baik itu bersifat naqli tekstual yang bersumber langsung dari al Quran dan Hadist maupun analisis hukum yang bersifat ijtihadi. Dari syarat ini seorang Wali itu dapat menjadi mujtahid yang memahami kaidah kaidah ijtihad yang dapat mengayomi masyarakat untuk memberikan solusi hukum yang dibutuhkan oleh mawla (warga)nya.

Syarat ketiga, seorang wali mempunyai sifat yang mulia seperti war’a dan bersifat ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Tentunya Wali ini harus mendalami serta mengalamalkan dasar dasar tasawuf yang matang, termasuk di dalamnya adalah memiliki kewibawaannya. Meskipun bersifat dengan sifat terpuji merupakan hal yang khafi (tersembunyi), tetapi implementasi sifat terpuji ini dapat dinilai dari kesehariannya, dalam berbicara berpakaian, bertinggkahlaku dan beraktifitas dalam kesehariannya. Tentunya seorang wali dapat mcerminkan diri sebagai uswatun hasanah (panutan ummat) bagi rakyatnya.

Selanjutnya yang keempat, seorang wali senantiasa bersifat dengan sifat al khauf. Maksudnya sentiasa merasa Allah selalu mengawasinya dan tentunya jika selalu di awasi oleh Allah, seorang wali itu akan bertugas dalam ke-waliannya dengan penuh hati-hati sesuai dengan petunjuk Allah SWT.

Jika merujuk pada pendapatnya Al Yusyi di atas, bagaimana dengan konsep Wali Naggroe yang ada dalam qanun di Aceh?  sudah sesuaikah dengan konsep di atas? kemudian, perlukah kemampuan membaca Al-Qur’an dijadikan salah satu syarat menjadi Wali Nanggroe di Aceh?

Dalam hal ini, saya hanya mempunyai pandangan, bahwa sekarang ini disaat seluruh calon pemimpin diuji kemampuan Al- Qura’n-nya, mengapa menjadi Wali Nanggroetidak diuji juga? Apalagi untuk terwujudnya empat syarat di atas, mestilah mereka mampu dengan Al-Qur’an, karena disaat empat hal yang disyaratkan di atas sukar untuk dibuktikan dengan kasat mata, maka tentunya dengan diuji kemampuan AlQur’an, seorang Wali Naggroe akan dapat dilihat keterwakilan empat syarat di atas. (op)

Mukhlisuddin, MA, Staf Pengajar Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Sumber : Atjehlink



Categories:

Leave a Reply