MEMBACA berita “Tanpa Otsus, Aceh Bangkrut” yang diturunkan harian ini dua pekan lalu, menjadi suatu perihal yang patut untuk direnungi, dicermati dan dicerdasi, sebegitu parahkah kondisi ekonomi Aceh saat ini? Jika dipandang dari realitas adanya ketidakseimbangan pengeluaran anggaran dengan sumber penerimaan, khususnya terhadap pengalokasian anggaran atas belanja pegawai yang dialokasikan sebesar Rp 1,621 trilIun, diatas dana alokasi umum yang diterima yaitu Rp 1,092 trilIun, tentunya reaksi keprihatinan atas kondisi ini tidaklah berlebihan, LSM MaTa (Masyarakat Transparansi Aceh) bahkan mengusulkan kepada Pemerintah Aceh untuk dapat merasionalkan kembali anggaran belanja pegawai yang dinilai terlalu boros (Serambi, 4/2/2013).
Penting untuk melihat persoalan ini tidak dari satu sudut pandang. Pada dasarnya peningkatan alokasi anggaran pada pos pengeluaran, termasuk belanja rutin-- gaji pegawai, tidak akan menjadi permasalahan jika dapat dicukupi oleh pos penerimaan. Rasionalisasi perlu dilakukan sebagai langkah efisiensi, namun jika ketidakseimbangan masih terjadi maka usaha yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan ketersediaan anggaran pada pos penerimaan.
Untuk itu pengelolaan sumber-sumber penerimaan asli daerah seperti PBB, iklan dan retribusi parkir harus dimaksimalkan sehingga PAD dapat meningkat secara signifikan. Selain itu sangat penting pula melakukan pengembangan sektor riil karena akan berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga penerimaaan dari sumber-sumber PAD dapat meningkat pula.
Pengembangan sektor riil
Meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan sektor riil menjadi langkah strategis dalam mengupayakan terjadinya optimalisasi penerimaan asli daerah. Tujuan pengembangan sektor rill akan bertumpu pada orientasi menumbuhkan aktifitas usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang berbasis lokal dengan target output global serta penguatan kewirausahaan. Usaha mikro kecil menengah (UMKM) di tanah air mampu menyerap tenaga kerja 90,9 juta dengan jumlah UMKM 52,7 juta unit.
Selain itu UMKM juga berkontribusi 56% terhadap PDB dan 6,1% terhadap pertumbuhan ekonomi. Di Aceh, jumlah UKM mencapai 55 ribu unit dan menyerap sebanyak 275 ribu tenaga kerja (Amir Syarifuddin, Kabid Koperasi dan UKM Disperindakkop dan UKM - Waspada, 23/1/2013). Pentingnya peran UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi menyebabkan sektor ini perlu untuk ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan, di samping melakukan penguatan kewirausahaan.
Kewirausahaan merupakan unsur yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi jangka panjang karena akan memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kewirausahaan menjadi sebuah proses yang dinamis untuk menciptakan kekayaaan incremental. Kekayaaan ini diciptakan oleh individu-individu yang menanggung resiko utama dalam wujud resiko modal, waktu dan komitmen dalam menyediakan nilai untuk produk atau jasa. Oleh sebab itu, usaha-usaha terhadap penguatan Kewirausahaan diharapkan akan berdampak nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan sektor rill, di Aceh khususnya.
Penguatan entreprenership
Penguatan entreprenership dapat dilakukan dengan: Menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru dan penguatan pengusaha-pengusaha yang telah ada terutama dalam bidang produksi; Pembenahan infrastruktur usaha dan kewirausahaan, baik untuk pedagang lama maupun baru. Hal ini dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap komunitas UMKM. Seperti realitas kondisi yang dialami oleh pedagang kaki lima (PKL).
Jika razia untuk alasan penertiban dilakukan karena PKL telah melakukan praktek perdagangan pada tempat dan waktu yang salah, maka hal ini tidak akan memberikan solusi terhadap persoalan yang sesungguhnya karena keterdesakan ekonomi akan membuat PKL mengulang aktifitas yang sama. Oleh sebab itu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang dapat mengakomodir kepentingan keduanya, sehingga PKL dapat menjalankan praktek usaha secara legal, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008;
Akses keuangan sebesar-sebesarnya untuk pengusaha UMKM. Dalam pengertian ekonomi modal merupakan barang atau uang yang digunakan sebagai faktor produksi untuk menghasilkan barang atau jasa. Akumulasi modal menjadi komponen utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, baik yang digunakan untuk peralatan fisik maupun yang diinvestasikan untuk peningkatan SDM, selain pertumbuhan penduduk yang berakses langsung dari penyediaan tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
Dengan demikian, akses keuangan yang akan menentukan besar kecilnya penggunaan modal usaha bagi pelaku UMKM menjadi aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian. Seperti adanya kebijakan perbankan untuk pembiayaan dengan suku bunga rendah, 4,5%/tahun. Pembiayaan yang lazim disediakan perbankan terhadap pelaku usaha umumnya pada tingkat bunga 18%. Kebijakan ini menunjukkan belum ada keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro dan kecil karena akses dana ini tidak memberi keuntungan optimal terhadap UMK yang memiliki tingkat keuntungan usaha yang kecil.
Kebijakan pemerintah menyalurkan pembiayaan dengan tingkat bunga rendah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), diharapkan menjadi salah satu solusi yang akan memudahkan akses keuangan bagi pelaku UMKM. Namun sangat perlu dilakukan penyempurnaan sistem dan pengalokasian dana yang lebih besar, karena pada kenyataannya kurang dari 2%, yaitu hanya enam ribuan debitur yang dapat memanfaatkan pembiayaan tersebut dari hampir empat ratus ribu UMKM di Aceh;
Akses produksi (infrastruktur produksi). Selama ini, produk UMKM Aceh dikenal memiliki harga yang relatif mahal sehingga memiliki kendala dalam pemasaran apa lagi jika harus bersaing ditingkat nasional. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ketidaktersediaan bahan baku produksi yang murah. Dengan tidak adanya bahan baku yang diproduksi di tingkat lokal seperti minyak goreng, gula dan lain-lain, maka produsen produk kuliner memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi karena harus menebus biaya bahan baku lebih mahal dari pedagang lokal yang mendapatkan supply dari luar kota seperti Medan, sehingga berdampak pada naiknya harga produk yang akan dipasarkan.
Demikian pula yang dialami oleh produsen produk lainnya. Adanya kebijakan pemerintah yang dapat mendorong tumbuhnya industri hulu ke hilir khususnya yang berorientasi pada penyediaan bahan baku produksi ditingkat lokal, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dari proses produksi sehingga upaya untuk menumbuhkan aktifitas UMKM yang berbasis lokal dengan target output global menjadi sangat mungkin untuk direalisasikan;
Infrastruktur pemasaran. Terhadap hal ini, pemerintah perlu menfasilitasi tersedianya pasar-pasar yang layak bagi pedagang-pedagang kecil dan pemula. Selain itu perlu adanya lembaga pengelola dalam membantu pengusaha untuk membuat atribut-atribut pemasaran termasuk membantu distribusi produk baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.
Keberpihakan anggaran
Usaha-usaha tersebut di atas dapat terlaksana bila pemerintah dapat fokus dengan sektor-sektor yang memiliki daya saing tinggi. Dan adanya keberpihakan anggaran yang kontinue sampai hal ini difikirkan eksis dengan adanya output yang secara kuantitas maupun kualitas dapat dipertanggungjawabkan.
Pemekaran Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) Disperinddakkop dan UKM menjadi Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Dinas Koperasi dan UKM diharapkan akan dapat mengoptimalkan kinerja pemerintahan dalam mengawal variabel-variabel ini untuk meningkatkan penerimaan asli daerah.
Jika PAD meningkat, peningkatan pada pos pengeluaran dapat diseimbangkan sehingga kekhawatiran akan bangkrutnya propinsi ini karena defisit anggaran pun tidak akan terjadi.
Dr. Iskandarsyah Madjid, MM, Dosen Fak. Ekonomi Unsyiah dan Direktur UKM Center Fak. Ekonomi Unsyiah. Email: ismadjid2011@gmail.com. Ernawati, SP, M.Si, Dosen Fak. Ekonomi Unsyiah dan Staf UKM Center Fak. Ekonomi Unsyiah. Email: minaraqi@yahoo.com
Sumber : Serambi Indonesia
Categories:
Opini