GOOD governance (tata kelola pemerintahan yang baik) merupakan isu yang marak dibicarakan belakangan ini. Gubernur Zaini Abdullah menunjukkan perhatian besar dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik ini di Aceh. Gubernur bersama dengan segenap aparaturnya berupaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Isyarat ke arah ini antara lain terlihat dari reformasi birokrasi dan program prioritas Pemerintah Aceh, yang diarahkan untuk peningkatkan akuntabilitas kinerja dan pelayanan publik.
Meskipun di tataran ide membuncahkan harapan, wacana good governance mencuatkan optimisme maupun pesimisme berbagai kalangan. Yang optimis menaruh keyakinan terhadap peluang mewujudkannya. Sementara yang pesimis menganggapnya sebagai hal muluk yang sulit diimplementasikan. Bagaimanakah konsep good governance itu? Sebesar apa harapan untuk mewujudkannya? Apa kendala utama yang dihadapi? Apa pula upaya yang dapat dilakukan aparatur pemerintah dalam mewujudkannya?
Paradigma Good Governance
Good governance merupakan manifestasi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah. Dalam literatur ilmu politik, administrasi, dan kebijakan publik, ia merupakan paradigma pengelolaan sektor publik yang terinspirasi dari konsep yang dikembangkan di sektor bisnis, yaitu good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik). Proses pengadopsian good corporate governance ke sektor publik, ditandai salah satunya oleh lahirnya konsep “pemerintahan wirausaha” (reinventing government) yang diintrodusir oleh Osborne dan Gaebler (1992). Bersamaan dengan itu, paradigma good governance kemudian kerapkali digunakan sebagai kriteria keberhasilan pembangunan suatu negara atau pemerintahan. Badan-badan pembiayaan internasional, seperti World Bank dan Asian Development Bank menghubungkan paradigma ini dengan persyaratan untuk memperoleh bantuan.
Menurut UNDP (1997), good governance memiliki sepuluh prinsip utama, yaitu partisipasi publik, aturan hukum (rule of law), transparansi, daya tanggap pelayanan, berorientasi konsensus, kesetaraan (equity), efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, bervisi strategis, dan saling keterkaitan antara seluruh prinsip tersebut. Good governance menekankan pentingnya interaksi sinergis dan setara antara 3 pilar: negara, sektor swasta dan masyarakat madani (civil society).
Untuk menciptakan good governance diperlukan upaya yang komprehensif, serius, dan sinergis, melibatkan para pemangku kepentingan. Birokrasi pemerintah merupakan bagian institusi negara yang diharapkan berada di garda terdepan dalam mewujudkan good governance. Harapan ini wajar dipandang dari posisinya yang strategis dalam pengelolaan sektor publik.
Pada prinsipnya, sebagaimana anggota masyarakat umumnya, banyak aparatur pemerintah yang juga mendambakan terwujudnya good governance. Mereka akan lebih merasa nyaman dan aman berada dalam lingkungan kerja yang menjunjung prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Besarnya harapan di kalangan eksternal dan internal birokrasi pemerintah dalam mewujudkan good governance merupakan modal berharga. Meski demikian, harapan tersebut harus berhadapan dengan kendala-kendala birokrasi yang tidak mudah diatasi.
Sistem dan lingkungan kerja birokrasi pemerintah secara apologetik sering dituding sebagai biang keladi penghambat terwujudnya good governance. Fakta-fakta pendukung yang sering diungkapkan adalah rendahnya gaji/insentif finansial aparatur pemerintah, lemahnya law enforcement (penegakan hukum), kurang jelasnya pemberlakuan punishment and reward (penghargaan dan hukuman), pengembangan karir yang mengabaikan merit system (sistem yang mengacu pada prestasi kerja), dan kuatnya budaya feodal dalam pola hubungan atasan-bawahan.
Penanggulangan kendala-kendala perwujudan good governance tersebut memang menuntut peran besar pemerintah. Berkaitan dengan sistem gaji/insentif finansial misalnya, tentulah tergantung kepada kebijakan pemerintah. Penerapan law enforcement, punishment and reward, dan merit system yang konsisten juga ditentukan oleh political will pemerintah atau pimpinan instansi pemerintah.
Seiring dengan upaya pemerintah mengatasi kendala-kendala dalam pengelolaan birokrasi secara amanah tersebut, aparatur pemerintah pun semestinya turut berperan aktif. Sering kali aparatur pemerintah terperangkap dan terlena dengan status quo sehingga tidak berusaha menangkap peluang yang memungkinkan.
Praktis dan konkret
Ada beberapa upaya praktis dan konkret yang dapat dilakukan aparatur pemerintah dalam mendukung perwujudan good governance: Pertama, berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja secara profesional. Artinya, menjalankan tugas dan fungsi sebaik-baiknya sesuai dengan job description (tugas yang ditetapkan), baik dalam pelayanan publik maupun dalam aktivitas birokrasi lainnya; Kedua, secara kontinu memperluas pengetahuan, wawasan, dan keterampilan, dengan misalnya menempuh pendidikan formal lanjutan serta secara reguler mengikuti berbagai diskusi, seminar, workshop, dan training yang relevan. Peningkatan kemampuan aparatur diharapkan akan memperbaiki kualitas pekerjaan dan tingkat pelayanan publik;
Ketiga, terbuka terhadap ide, gagasan, dan pemikiran baru. Adalah sifat kebanyakan orang untuk bersikap taken for granted (menerima sesuatu yang berlaku sebagai keniscayaan). Sikap demikian tidaklah tepat mengingat dinamika lingkungan di sekitar senantiasa menuntut tindakan yang responsif dan adapatif; Keempat, memanfaatkan segala kesempatan untuk berperan menciptakan kondisi yang lebih baik. Hal ini terkait erat dengan otoritas seseorang. Sebagai staf, di samping dapat dengan menampilkan kinerja terbaik, juga dapat melalui kontribusi pikiran yang konstruktif dalam proses pengambilan keputusan. Sementara itu, atasan dapat memainkan peran yang lebih besar lewat penentuan kebijakan, program dan kegiatan;
Kelima, berani mengajukan pemikiran yang berbeda dengan atasan. Terkadang aparatur pemerintah sering menjadi “yes man” terhadap atasannya karena tidak memilik integritas atau sekedar mencari selamat. Ada juga yang bersikap demikian karena pemahaman yang keliru atas makna loyalitas. Padahal, pemikiran berbeda yang positif belum tentu akan diabaikan atasan.
Selain itu, juga tidak jarang menjadi alternatif yang lebih baik dan dapat menyelamatkan atasan dari pengambilan keputusan yang keliru; Keenam, membangun networking (jejaring kerja) dengan rekan sejawat, individu, dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap perubahan. Menjadi single fighter dalam upaya perubahan adalah mustahil. Keikutsertaan banyak orang membuat upaya tersebut menjadi lebih mudah dan akan membawa pengaruh yang signifikan.
Jika upaya-upaya yang disebut di atas dilakukan dengan tekad dan komitmen kuat, maka akan menimbulkan kesadaran dan aksi kolektif di kalangan aparatur pemerintah Aceh. Ibarat bola salju, ia akan terus menggelinding sehingga kian lama kehadiran dan pengaruhnya kian membesar. Pada akhirnya upaya-upaya demikian bukanlah suatu yang muspra. Ia meninggalkan jejak dan preseden yang menjadi lampu penerang menuju good governance yang diidamkan. Semoga!
* Ichsan M. Ali Basyah Amin, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh, Doktor Kebijakan Publik dari University of Arkansas, Amerika Serikat. Email: ichsan28@yahoo.com
Sumber : Serambi Indonesia
Categories:
Opini