SETELAH sempat tertunda selama sebulan, DPRA akhirnya mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2013 pada 1 Februari lalu. Pengesahan tersebut dilakukan setelah Pemerintah Aceh mengajukan alokasi anggaran tambahan sebesar Rp 2.727 triliun.
Rapat Paripurna DPRA yang dipimpin wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda dan dihadiri Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan sejumlah kepala satuan kerja perangkat pemerintahan Aceh itu pun kini menuai kontroversi setelah pemerintah Aceh menghentikan program beasiswa bagi putra putri Aceh ke luar negeri.
Terlepas dari sikap pro dan kontra dari beragam pihak, penghentian beasiswa oleh pemerintah Aceh sampai dengan pembenahan lembaga peningkatan sumber daya manusia Aceh (sebelumnya bernama komisi beasiswa Aceh) tersebut memang harus disikapi secara arif dan bijak. Persoalan beasiswa memang bukan hanya persoalan memfasilitasi generasi muda Aceh yang cerdas untuk mengenyam pendidikan yang lebih layak.
Dengan menggunakan anggaran rakyat, tentu ada tanggung jawab moral yang diemban pemerintah Aceh dan seluruh penerima beasiswa untuk memberikan feedback positif bagi masyarakat. Bukankah sumber pendanaan beasiswa juga berasal “uang rakyat”, yang sudah semestinya output dari program tersebut juga harus dirasakan manfaatnya oleh rakyat, meskipun bagi mereka yang tidak lulus sekolah sampai SMA.
Tanggung jawab bersama
Pemerintah Aceh, bersama peserta maupun alumni penerima beasiswa sebenarnya memiliki tanggung jawab bersama terhadap masyarakat sebagai pemilik sah terhadap anggaran pembangunan. Ke depan, untuk menghasilkan output yang lebih besar dari program pengiriman putra-putri terbaik Aceh ke luar negeri sebenarnya ada tiga strategi yang bisa digunakan.
Pertama, langkah yang ingin diambil oleh Zaini Abdullah dalam melakukan penyusunan kembali database bagi seluruh penerima beasiswa dari S1 sampai dengan S3, baik di dalam negeri maupun luar negeri merupakan langkah yang tepat. Dengan adanya data base ini diharapakan pemerintah dengan mudah dapat menginventarisir secara akurat dan real time dalam menggali informasi yang dibutuhkan dari setiap penerima beasiswa.
Dalam rangka transparansi, memang sudah seharusnya database ini kelak bisa di akses oleh publik. Jumlah anggaran yang dihabiskan oleh setiap penerima beasiswa merupakan informasi mutlak yang harus disajikan. Selain itu, untuk memberikan output yang lebih luas dan tanggung jawab terhadap masyarakat sudah sepatutnya setaip penerima beasiswa diwajibkan untuk mempublikasikan hasil karya ilmiahnya dalam database tersebut.
Setiap hasil karya ilmiah yang terdokumentasi tersebut tentu dapat memberikan manfaat yang besar, baik bagi pemerintah, masyarakat, maupun mahasiswa yang ingin menggali informasi yang terperinci terhadap suatu konsentrasi ilmu.
Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis tersebut juga bisa dimanfaatkan oleh eksekutif sebagai pengganti studi banding terhadap berbagai konsep pembangunan di luar negeri. Dengan ini alokasi anggaran studi banding yang menghabiskan anggaran puluhan miliar dapat ditekan dan dialihkan kepada sektor yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat secara langsung.
Kedua, mewajibkan setiap penerima beasiswa untuk memberikan pengabdian dalam berbagai konsep dalam jangka waktu tertentu terhadap pendidikan formalnya bagi masyarakat, lembaga-lembaga yang ada di Aceh maupun di institusi pemerintahan secara langsung.
Apa yang dilakukan oleh Bung Karno pada 1956 tentu bisa menjadi contoh bagi kita semua. Bung Karno mengirimkan ribuan putra-putri terbaik ke mancanegara. Program Mahasiswa Ikatan Dinas itu kemudian dilibatkan pembangunan proyek infrastruktur dasar yang bersifat strategis sehingga manfaatnya dirasakan oleh masyarakat.
Ketiga, pemerintah Aceh memberikan ruang yang sebesar-besarnya untuk melibatkan seluruh alumni beasiswa dalam strategi dan arah pembangunan yang diinginkan, baik secara langsung maupun sebagai penghubung dengan stakeholder di berbagai bidang yang berada di negara lain.
Opsi ini memberikan peluang untuk menciptakan linkaged yang lebih berorientasi global dengan dua arah, seperti membuka peluang pasar di luar negeri, maupun menarik investor ke Aceh. Upaya melibatkan peserta beasiswa maupun alumni secara komprehensif merupakan hal mutlak yang memang sudah seharusnya dilakukan dalam upaya pembangunan maupun kemajuan olah raga di Aceh.
Hal ini dimaksudkan agar generasi terbaik Aceh tersebut tidak malah dimanfaatkan oleh negara lain ataupun pihak swasta yang justru menjalankan kegiatannya di Aceh. Tentu kita tidak mengharapkan hasil dari investasi miliaran rupiah berupa beasiswa tersebut malah dimanfaatkan oleh pihak lain.
Studi kasus terhadap apa yang terjadi di India merupakan contoh yang menarik. Akibat tidak tersedianya beragam peluang fasilitas dan kesempatan yang ada untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki, banyak generasi terbaik mereka yang justru hijrah ke negara lain (brain drain).
Memberikan kontribusi
Agar beasiswa memberikan konstribusi yang besar terhadap strategi pembangunan di masa depan, sudah sepatutnya pemerintah melakukan sinkronisasi terhadap program studi beasiswa yang akan diberikan. Sebagai contoh, apabila skenario pembangunan jangka menengah dan panjang lebih ditekankan pada sektor pertanian. Maka sudah seharusnya persentase pemberian beasiswa lebih memberikan porsi yang besar terhadap bidang ini. Baik dalam pengembangan teknologi budidaya, hasil pertanian, infrastrukur maupun sosio-kultural di bidang pertanian.
Tentunya ini tentunya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Mengingat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, sektor pertanian memberikan kontribusi yang paling besar terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) di Aceh yaitu sebesar 26,90 persen. Memang dibutuhkan upaya-upaya sinergis antara pemerintah dan penerima beasiswa untuk memberikan output positif dengan spektrum yang lebih luas bagi seluruh masyarakat Aceh, agar manfaat program beasiswa tidak hanya diperuntukan kepada mereka yang menerimanya, melainkan untuk seluruh lapisan masyarakat.
Untuk menepis anggapan ratusan miliar yang telah digelontorkan pemerintah Aceh dalam program beasiswa belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh, maka alangkah baiknya alumni penerima beasiswa membentuk suatu kaukus maupun jaringan yang dalam kegiatannya memberikan konstribusi positif bagi masyarakat Aceh. Meski tidak diisi sepenuhnya oleh penerima beasiswa, aksi komunitas ilmuwan dan profesional di India yaitu, Generative Scenario Thinking dalam mengatasi ketidakberdayaan rakyat, bisa menjadi inspirasi yang berharga bagi kita semua.
Komunitas yang terbentuk sejak dua dasawarsa lalu itu lebih mengedepankan skenario fireflies arising (kunang-kunang bermunculan), mengetuk hati nurani anak bangsa yang berhasil di mancanegara agar ikut berbakti kepada negerinya. Dengan inisiatif sendiri, mereka membantu kaum miskin memperoleh akses pendidikan dan ekonomi, memfasilitasi inisiatif lokal, sekaligus mendorong pembelajaran bersama agar terbebas dari jerat keterbelakangan.
Selain menepis anggapan miring, kegiatan-kegiatan positif seperti yang disebutkan di atas juga mampu menciptakan perspektif baru yang positif di mata masyarakat terhadap putra putri Aceh yang mengenyam pendidikan di luar negeri. Hal ini tentunya lebih bermanfaat dari pada sekadar melaporkan hal-hal remeh-temeh di negara lain melalui media masa.
Ziad Farhad, Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: farhadziad@gmail.com
Sumber : Serambi Indonesia
Categories:
Opini