• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments




WACANA gratifikasi seks yang baru-baru ini lantang diperbincangkan, membuat kata “ayam kampus” pun semakin tenar. Pasalnya, kasus suap daging sapi impor yang menyeret mantan Presiden PKS Luhtfi Hasan Ishaaq, diduga melibatkan seorang mahasiswi. Teka-teki berita pun berarah pada prasangka gratifikasi seks.

Terlepas dari benar tidaknya prasangka itu, menilik maraknya fenomena ayam kampus lebih penting. Karena hal ini menyangkut generasi masa depan. Kita tahu mahasiswa/i merupakan sosok pemuda yang sedang belajar di perguruan tinggi. Kelak mereka diharapkan sebagai pemimpin dan penggerak perubahan di dalam masyarakat. Tetapi ketika kita dihadapkan pada kenyataan buram “ayam kampus”, seolah-olah gelap masa depan bangsa.

Selama ini mahasiswa/i diagung-agungkan sebagai agent of change, agent of control, iron stock, dan avant garde. Mereka adalah harapan besar masa depan bangsa. Kenyataan pahit berupa degradasi moral yang terjadi pada kaum terdidik itu --secara khusus pada mahasiswi-- yang sampai mejual kehormatan dirinya sungguh membuat hati miris. Kita dihadapkan pada sebuah kenyataan yang kontras dengan tujuan pendidikan.

 Dampak negatif Pendidikan sebagai sarana transfer pengetahuan dan pembentukan moralitas, tidak mampu diejawantahkan dengan baik oleh sebagian mahasiswa/i. Mereka tidak mampu membentengi diri dari dampak negatif globalisasi. Mereka banyak tersesat dalam glamour hedonisme, sehingga kemampuan intelektual mahasiswa/i kini semakin menurun. Bahkan, mengalami problem moralitas yang akut seperti menjajalkan dirinya sebagai pekerja seks komersial (PSK) dengan istilah “ayam kampus”.



Menjamurnya ayam kampus yang berkeliaran dalam dunia pendidikan tinggi, menjadi tamparan kritik yang sangat tajam terhadap sistem pendidikan yang selama ini kita jalankan. Pendidikan dengan sitem kurukulum dan segala perangkatnya tidak mampu menjadikan mereka manusia yang seutuhnya. Yakni manusia yang mampu memahami makna hidup dan moralitas sebagai bagian dari integritas dirinya, bukan sekedar menumpuk pengetahuan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak ada implementasi nyata dari pengetahuan tesebut.

Maka tidak usah heran lagi, jika selama ini pendidikan tinggi malah melahirkan banyak manusia-manusia amoral seperti ayam kampus. Bahkan koruptor dari kelas teri sampai kelas kakap juga dilahirkan dari pendidikan tinggi. Inilah ironi pendidikan kita?

Problem moralitas memang tidak hanya menyangkut sistem pendidikan, tetapi bagaimanapun sistem pendidikan tetap menjadi penyangga utama bagi perbaikan moral. Kita sangat berharap rancangan pendidikan karakter bisa dimainkan dengan baik di perguruan tinggi. Sehingga pendidikan tinggi melahirkan intelektual-moralis, yang memiliki kesadaran diri yang tinggi bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Tetapi yang terpenting untuk menjadi manusia yang bermoral tetap bermuara pada diri kita sendiri. Kesadaran diri yang kita bentuk adalah kunci dari tindakan moral. Prinsipnya apapun dalam hidup tetap berada pada kendali diri kita sendiri. Manusia seperti bahasa Sartre, bebas menentukan pilihan hidupnya. Manusia adalah pemegang otoritas dirinya sendiri. Namun demikian, bukan berati manusia menyingkirkan moral sebagai pijakan hidup.

Moral merupakan prinsip utama dalam kehidupan. Filsuf Etika, Aristippos, yang meyakini kesenangan sebagai prinsip hidup, tetap menekankan manusia agar mengontrol diri dari kesenangan. Kesenangan yang tidak terkontrol membuat hidup menjadi liar. Apalagi sampai salah memaknai kesenangan, sehingga bagi kaum terdidik seperti mahasiswa/i yang dimaksud kesenangan adalah seks bebas, tak heran mahasiswi tesesat menjadi “ayam kampus”.

Seks memang kebutuhan vital dalam hidup manusia. Tetapi ada etika yang mengatur cara melakukan seks yang benar. Apalagi di negara agamis seperti Indonesia. Setiap agama memiliki aturan tesendiri terkait pernikahan. Sehingga dalam masyarakat agamis, orang yang melakukan seks di luar nikah mereka pasti dicemooh, bahkan bisa dikucilkan.

 Seperti binatang Orang yang melakukan seks bebas, tak ubahnya seperti binatang, yang bisa dinikmati kapan dan di mana saja oleh lawan jenisnya. Bahasa “ayam kampus” sebagai gambaran dari PSK kampus sangat cocok sekali dengan nama ayam. Ayam sebagai binatang dalam melakukan seks sangat liar sekali, bahkan bisa saja melakukan seks dengan induknya. Karena ayam tak memiliki etika atau moral seperti halnya manusia.

Etika menurut Aristoteles lahir dari rasio yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaannya, seseorang harus menjalankan fungsi-fungsi rasio dengan baik. Moral dapat digapai dengan sikap tengah yang disebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Sebuah upaya untuk mengamalkan pengetahuan yang kita miliki.

Semua orang paham bahwa seks bebas dilarang agama dan bertentangan dengan kebudayaan masyarakat kita. Tetapi mengapa masih banyak masyarakat, secara khusus mahasiswi yang notabene sebagai peserta didik di kampus melakukan seks bebas? Bahkan mereka menjual kehormatan dirinya demi uang dan kesenangan sesaat. Sungguh sebuah ironi. Mereka kaum terdidik yang digadang-gadang sebagai harapan masa depan bangsa Indonesia.

Krisis kepemimpinan dengan sejumlah problem kebangsaan yang akut membuat kita sangat prihatin. Dan pemuda-pemudi yang saat ini sedang berproses belajar diharapkan bisa memperbaiki bangsa Indonesia. Tetapi kenyataannya mereka melakukan sesuatu yang jauh dari harapan bangsa. Jika pemuda-pemudi sekelas mahasiswi masih tesesat jalan hidupnya, lalu kepada siapa lagi kita berharap perbaikan bangsa ini?  

Masduri, Pengelola Laskar Ambisius Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Sumber : Serambi Indonesia

Categories:

Leave a Reply