LABI-LABI merupakan transportasi umum favorit dan
andalan bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di Banda Aceh dan sekitarnya. Murah,
ada dimana-mana, dan tentu tidak akan kehujanan saat musim hujan tiba. Dengan
banyaknya mahasiswa yang menggunakan labi-labi, maka banyak pula orang yang
sudah mengurangi dampak kemacetan di kota Banda Aceh dibandingkan jika semua
mahasiswa mengendarai kendaraan mereka masing-masing.
Sebenarnya, transportasi (labi-labi) ini juga dapat menjadi sarana mahasiswa untuk mengenal mahasiswa lain sembari masing-masing sampai ke tujuannya atau sekedar menyapa orang tua yang “satu labi-labi” dengan kita, “satu labi-labi” di sini maksudnya adalah duduk saling berhadapan dalam labi-labi yang sama.
Namun, fakta yang kita dapatkan adalah jangankan untuk menyapa orang tua, untuk menyapa sesama mahasiswa baik yang sebaya atau sedikit tidak sebaya saja ogah. Jika ada pun hanya sedikit sekali yang masih memiliki akhlak yang demikian dan kebanyakan mahasiswa hanya bercakap-cakap dengan teman yang ia kenal saja.
Hening tanpa suara Boleh Anda amati sendiri ketika Anda menjadi seorang penumpang labi-labi. Dengan gaya duduk mereka masing-masing, entah itu ada yang saling berhadapan tetapi hanya menunduk diam. Pura-pura tidak melihat orang yang ada di hadapannya, mengalihkan penglihatan dengan memainkan handphone, atau lebih memilih melihat-lihat ke luar jendela sehingga suasana hening tanpa suara.
Mengapa yang menjadi sorotan adalah mahasiswa? Karena mahasiswa yang akan menjadi pengayom masyarakat yang harusnya memiliki intelejensi, simpati, dan empati. Jika ketika duduk berhadapan dalam satu labi-labi yang jaraknya hanya beberapa jengkal saja tak lagi ingin saling menyapa, bagaimana ketika mereka telah menjadi bagian-bagian dari masyarakat nantinya?
Ketika menjadi dokter maka jadilah ia dokter yang sekadar menolong pasien saat jam kerja saja; Ketika menjadi guru, maka jadilah ia guru yang memberikan materi sekadarnya saja; Ketika menjadi para penegak hukum, maka jadilah ia penegak hukum yang menegakkan hukum ketika dibayar saja; Ketika menjadi pemimpin, maka jadilah ia pemimpin di atas mimbar saja.
Hal itu terjadi karena mahasiswa yang telah “menjadi” tersebut kaya dengan inteligensi, tetapi miskin simpati dan empati, sehingga tercipta generasi-generasi yang egois, bukan generasi-generasi yang altruis.
Sederhana sekali mengamati moral ability mahasiswa masa kini. Hanya analogi dari sebuah sikap di dalam labi-labi. Hal ini tidak terlepas dari “kecerdasan emosional” mahasiswa tersebut. Begitu urgennya memiliki kecerdasan emosional yang baik karena seperti diungkapkan oleh Presiden ke-26 Amerika Serikat, Theodore Roosevelt “Satu-satunya unsur yang paling penting dalam formula keberhasilan adalah mengetahui bagaimana cara bergaul dengan orang lain”.
Labi-labi memang sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan mahasiswa seputaran Banda Aceh. Interaksi di dalamnya juga menentukan sikap atau kecerdasan emosinal dari orang-orang yang ada di dalamnya. Jika interaksi kita dalam konteks yang sempit seperti labi-labi saja bisa dinilai buruk, maka tidak sedikit pula dapat menentukan interaksi kita di luar dunia labi-labi itu juga buruk.
Di zaman sekarang ini, jika mahasiswa tidak pintar-pintar dalam bergaul dengan sesamanya maka sulit sekali untuk mencari lingkungan yang sesuai dan menerimanya. Terlebih ketika akan ada pemilihan-pemilihan seperti pemilihan presiden mahasiswa, ketua BEM, ketua DPM, maupun ketua himpunan di kampus-kampus di situlah terlihat berbagai macam cara dilakukan agar dapat mendekati para pemberi suara untuk mendukung mereka tetapi setelah itu pendekatan yang pernah dilakukan hilang begitu saja.
Walaupun ada yang masih memiliki tingkat kecerdasan emosional yang cukup baik pasti jumlahnya sangat sedikit. Jumlah terbanyak mungkin didominasi oleh mahasiswa yang hanya santun ketika berhadapan dengan orang-orang penting saja seperti dosen, rektor, atau ketua-ketua himpunan. Namun, dengan sesamanya maka terlihatlah perangai aslinya. Anak muda sekarang mengistilahkannya dengan caper (cari perhatian), tepe-tepe (tebar pesona), atau agar nilai akademiknya baik saja. Ironis memang, tetapi itulah faktanya.
Bukan berarti ketika kita menemukan sesuatu yang buruk di lingkungan kita, kita hanya membiarkan dan menjadi mahasiswa yang acuh saja, jika memang demikian maka kita juga tergolong kepada mahasiswa-mahasiswa yang egois dan apatis. Mesti ada mahasiswa yang memulai untuk mengakhiri sikap buruk mahasiswa tersebut. Maka mungkin kita bisa memulainya dengan “LOVE”.
Harus berbaur Menjadi mahasiswa yang dituntut harus berbaur dengan masyarakat maka sering-seringlah menggunakan labi-labi sebagai kendaraan untuk menuju ke kampus, karena banyak keuntungan yang kita dapatkan. Selain mengurangi kemacetan dan melatih kecerdasan emosional kita, di dalamnya kita juga membentu melestarikan labi-labi agar tidak punah dan supir labi-labi tidak kehilangan pekerjaan.
Kemudian, obrolkan apa saja hal-hal yang ringan di dalam labi-labi dengan orang yang sudah kita sapa dan berkenalan sebelum memulai obrolan tersebut. Variasikan obrolan dengan menanyakan hal-hal yang sama-sama diketahui. Jangan membicarakan sesuatu yang berat dan hanya kita yang tahu karena itu akan membuat teman kita bosan dan tidak mendengarkan.
Terakhir dan yang terpenting adalah tunjukkan emosinal yang baik setiap kali menyapa atau membicarakan sesuatu dengan teman yang berbeda di dalam labi-labi, dan buatlah mereka nyaman dengan apa yang kita katakan. Insya Allah akan ada perubahan ketika sesuatu yang baik dimulai dengan hints yang baik pula.
Tentu ada alasan mengapa kita sebagai mahasiswa harus merubah sikap buruk tersebut. Bukan karena alasan-alasan klise seperti ingin meraih suara dalam pemilihan atau bersikap baik pada dosen pun hanya untuk meraih nilai akademik yang tinggi.
Sebenarnya, transportasi (labi-labi) ini juga dapat menjadi sarana mahasiswa untuk mengenal mahasiswa lain sembari masing-masing sampai ke tujuannya atau sekedar menyapa orang tua yang “satu labi-labi” dengan kita, “satu labi-labi” di sini maksudnya adalah duduk saling berhadapan dalam labi-labi yang sama.
Namun, fakta yang kita dapatkan adalah jangankan untuk menyapa orang tua, untuk menyapa sesama mahasiswa baik yang sebaya atau sedikit tidak sebaya saja ogah. Jika ada pun hanya sedikit sekali yang masih memiliki akhlak yang demikian dan kebanyakan mahasiswa hanya bercakap-cakap dengan teman yang ia kenal saja.
Hening tanpa suara Boleh Anda amati sendiri ketika Anda menjadi seorang penumpang labi-labi. Dengan gaya duduk mereka masing-masing, entah itu ada yang saling berhadapan tetapi hanya menunduk diam. Pura-pura tidak melihat orang yang ada di hadapannya, mengalihkan penglihatan dengan memainkan handphone, atau lebih memilih melihat-lihat ke luar jendela sehingga suasana hening tanpa suara.
Mengapa yang menjadi sorotan adalah mahasiswa? Karena mahasiswa yang akan menjadi pengayom masyarakat yang harusnya memiliki intelejensi, simpati, dan empati. Jika ketika duduk berhadapan dalam satu labi-labi yang jaraknya hanya beberapa jengkal saja tak lagi ingin saling menyapa, bagaimana ketika mereka telah menjadi bagian-bagian dari masyarakat nantinya?
Ketika menjadi dokter maka jadilah ia dokter yang sekadar menolong pasien saat jam kerja saja; Ketika menjadi guru, maka jadilah ia guru yang memberikan materi sekadarnya saja; Ketika menjadi para penegak hukum, maka jadilah ia penegak hukum yang menegakkan hukum ketika dibayar saja; Ketika menjadi pemimpin, maka jadilah ia pemimpin di atas mimbar saja.
Hal itu terjadi karena mahasiswa yang telah “menjadi” tersebut kaya dengan inteligensi, tetapi miskin simpati dan empati, sehingga tercipta generasi-generasi yang egois, bukan generasi-generasi yang altruis.
Sederhana sekali mengamati moral ability mahasiswa masa kini. Hanya analogi dari sebuah sikap di dalam labi-labi. Hal ini tidak terlepas dari “kecerdasan emosional” mahasiswa tersebut. Begitu urgennya memiliki kecerdasan emosional yang baik karena seperti diungkapkan oleh Presiden ke-26 Amerika Serikat, Theodore Roosevelt “Satu-satunya unsur yang paling penting dalam formula keberhasilan adalah mengetahui bagaimana cara bergaul dengan orang lain”.
Labi-labi memang sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan mahasiswa seputaran Banda Aceh. Interaksi di dalamnya juga menentukan sikap atau kecerdasan emosinal dari orang-orang yang ada di dalamnya. Jika interaksi kita dalam konteks yang sempit seperti labi-labi saja bisa dinilai buruk, maka tidak sedikit pula dapat menentukan interaksi kita di luar dunia labi-labi itu juga buruk.
Di zaman sekarang ini, jika mahasiswa tidak pintar-pintar dalam bergaul dengan sesamanya maka sulit sekali untuk mencari lingkungan yang sesuai dan menerimanya. Terlebih ketika akan ada pemilihan-pemilihan seperti pemilihan presiden mahasiswa, ketua BEM, ketua DPM, maupun ketua himpunan di kampus-kampus di situlah terlihat berbagai macam cara dilakukan agar dapat mendekati para pemberi suara untuk mendukung mereka tetapi setelah itu pendekatan yang pernah dilakukan hilang begitu saja.
Walaupun ada yang masih memiliki tingkat kecerdasan emosional yang cukup baik pasti jumlahnya sangat sedikit. Jumlah terbanyak mungkin didominasi oleh mahasiswa yang hanya santun ketika berhadapan dengan orang-orang penting saja seperti dosen, rektor, atau ketua-ketua himpunan. Namun, dengan sesamanya maka terlihatlah perangai aslinya. Anak muda sekarang mengistilahkannya dengan caper (cari perhatian), tepe-tepe (tebar pesona), atau agar nilai akademiknya baik saja. Ironis memang, tetapi itulah faktanya.
Bukan berarti ketika kita menemukan sesuatu yang buruk di lingkungan kita, kita hanya membiarkan dan menjadi mahasiswa yang acuh saja, jika memang demikian maka kita juga tergolong kepada mahasiswa-mahasiswa yang egois dan apatis. Mesti ada mahasiswa yang memulai untuk mengakhiri sikap buruk mahasiswa tersebut. Maka mungkin kita bisa memulainya dengan “LOVE”.
Harus berbaur Menjadi mahasiswa yang dituntut harus berbaur dengan masyarakat maka sering-seringlah menggunakan labi-labi sebagai kendaraan untuk menuju ke kampus, karena banyak keuntungan yang kita dapatkan. Selain mengurangi kemacetan dan melatih kecerdasan emosional kita, di dalamnya kita juga membentu melestarikan labi-labi agar tidak punah dan supir labi-labi tidak kehilangan pekerjaan.
Kemudian, obrolkan apa saja hal-hal yang ringan di dalam labi-labi dengan orang yang sudah kita sapa dan berkenalan sebelum memulai obrolan tersebut. Variasikan obrolan dengan menanyakan hal-hal yang sama-sama diketahui. Jangan membicarakan sesuatu yang berat dan hanya kita yang tahu karena itu akan membuat teman kita bosan dan tidak mendengarkan.
Terakhir dan yang terpenting adalah tunjukkan emosinal yang baik setiap kali menyapa atau membicarakan sesuatu dengan teman yang berbeda di dalam labi-labi, dan buatlah mereka nyaman dengan apa yang kita katakan. Insya Allah akan ada perubahan ketika sesuatu yang baik dimulai dengan hints yang baik pula.
Tentu ada alasan mengapa kita sebagai mahasiswa harus merubah sikap buruk tersebut. Bukan karena alasan-alasan klise seperti ingin meraih suara dalam pemilihan atau bersikap baik pada dosen pun hanya untuk meraih nilai akademik yang tinggi.
Namun, alasan yang cukup baik di antara alasan-alasan baik lainnya adalah “Seberapa jauh Anda melangkah dalam kehidupan tergantung pada sikap lembut Anda kepada kaum muda, belas kasihan kepada orang-orang tua, simpati kepada orang-orang yang berjuang, dan toleransi kepada orang yang lemah dan kuat. Karena suatu hari dalam kehidupan ini Anda adalah mereka semua” (George Washington Carver). Benar, karena suatu hari di hidup ini kita adalah mereka semua. Maka berbuat baiklah pada mereka siapa pun mereka itu, entah itu yang lebih muda atau yang lebih tua dari kita dan mulailah dari sarana paling sederhana. Bersikap santun dan ramah pada siapa pun yang ada di dalam labi-labi. Jangan menjadi mahasiswa apatis masa kini yang saling tak menyapa, meski dalam satu labi-labi! Ingat, labi-labi.
Iin Farlinda, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh.
Sumber : Serambi Indonesia