DUNIA pendidikan di Aceh kembali ternodai dengan aksi
kekerasan yang dilakukan oleh seorang oknum guru di SMA Negeri 7 Kota
Lhokseumawe, terhadap seorang siswanya. Akibat tindak kekerasan fisik yang
dilakukan oknum gurunya itu, Muslem, siswa kelas 2 IPS di SMA Negeri 7 Kota
Lhokseumawe itu dilaporkan mengalami gangguan di bagian syaraf (Serambi,
25/3/2013).
Peristiwa kekerasan seperti ini tentu bukan yang kali pertama terjadi dalam dunia pendidikan baik dalam konteks lokal maupun nasional. Bahkan mungkin banyak peristiwa kekerasan lain yang pernah terjadi, tapi tidak terpublikasi di media massa.
Peristiwa di atas mengingatkan saya dengan komentar beberapa orang guru dalam beberapa pelatihan yang berbeda. Intinya ada kesan di antara guru kontemporer yang menyalahkan kondisi pendidikan dewasa ini yang dianggap memasung kebebasan mereka dalam melaksakan tanggung jawab mendidik dan mengajar yang mereka emban.
“Gimana kita mau mendidik dengan benar kalau sedikit saja siswa dijewer sudah dilaporkan ke polisi,” komentar seorang guru suatu kali. “Sekarang ini, kita serba susah sebagai guru. Kita jadi takut menghukum dikarenakan nanti akan dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM) dan UU Perlindungan Anak,” jelas seorang guru pada kesempatan yang lain.
Komentar-komentar sedemikian rupa memang tidak bisa ditolak begitu saja, karena memang itu adalah bentuk curahan hati (curhat) mereka sebagai pendidik yang mengalami langsung bagaimana situasi di lapangan. Tapi dari beberapa komentar tersebut memang ada hal-hal yang perlu diluruskan.
Tindakan kekerasan Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (W.W. Charters, 197).
Unsur terpenting pelaku dari corporal punishment seseorang atau sejumlah orang terdekat seperti guru, dosen, ustaz, dan lain-lain yang seharusnya memiliki otoritas dan kewajiban untuk melindungi anak.
Lebih lanjut lagi kekerasan dalam dunia pendidikan pada dasarnya bisa berbentuk fisik dan nonfisik. Kekerasan yang berbentuk fisik antara lain seperti memukul, menampar, menjewer, menyepak, membanting, dst.
Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga bisa berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst). Sementara kekerasan nonfisik dapat berbentuk kata-kata (verbal) seperti membentak, mengumpat, merendahkan, menghina, dst.
Dari penjelasan di atas tergambar bahwa kekerasan terhadap anak pada dasarnya bukan hanya berbentuk fisik, sebagaimana yang pada umumnya dipahami sepintas oleh guru di atas, akan tetapi juga meliputi kekerasan lisan (verbal) maupun seksual.
Reward (ganjaran, hadiah) dan punishment dalam dunia pendidikan pada umumnya dikorelasikan dan dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan, dukungan, motivasi) yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901).
Dorongan atau motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila reinforcement ini ditiadakan, maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah.
Dalam teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas. Oleh karena itu mereka harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility).
Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya.
Berkenaan dengan hal ini, menurut kaca mata Islam, konsep pemberian hadiah dan pemberian hukuman juga bukan merupakan terma yang asing lagi. Alquran al-Karim sendiri banyak memuat dan menyinggung kedua konsep ini, di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74, al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat 6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat 10 dan 21.
Seorang pemikir Islam terkemuka, al-Ghazali, berpendapat bahwa reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi di depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar anak-anak yang lain menjadi termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.
Reward dan punishment Dalam dunia pendidikan ada teori umum bahwa sistem pemberian reward dan punishment yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment tersebut dikurangi dan bahkan kalau bisa dihindari, sedangkan konsep pemberian reward lebih ditekankan aplikasinya. Dengan ungkapan lain konsep reward ini sudah semestinya lebih banyak menjadi penekanan dibandingkan punishment. Kalaupun punishment harus diberlakukan, maka bentuknya harus yang bersifat mendidik, bukan yang bersifat melukai fisik atau menjatuhkan aspek psikis si anak.
Proses pemberian hukuman (punishment) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan non fisik yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah saw sebagai sosok teladan seluruh umat manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan.
Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan (apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak diberikan hadiah.
Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustaz, dan lain-lain) dituntut untuk memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga sekaligus pembimbing (counsellor) dan suri teladan yang baik. Wallahu a’lam bis shawab.
Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh.
Peristiwa kekerasan seperti ini tentu bukan yang kali pertama terjadi dalam dunia pendidikan baik dalam konteks lokal maupun nasional. Bahkan mungkin banyak peristiwa kekerasan lain yang pernah terjadi, tapi tidak terpublikasi di media massa.
Peristiwa di atas mengingatkan saya dengan komentar beberapa orang guru dalam beberapa pelatihan yang berbeda. Intinya ada kesan di antara guru kontemporer yang menyalahkan kondisi pendidikan dewasa ini yang dianggap memasung kebebasan mereka dalam melaksakan tanggung jawab mendidik dan mengajar yang mereka emban.
“Gimana kita mau mendidik dengan benar kalau sedikit saja siswa dijewer sudah dilaporkan ke polisi,” komentar seorang guru suatu kali. “Sekarang ini, kita serba susah sebagai guru. Kita jadi takut menghukum dikarenakan nanti akan dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM) dan UU Perlindungan Anak,” jelas seorang guru pada kesempatan yang lain.
Komentar-komentar sedemikian rupa memang tidak bisa ditolak begitu saja, karena memang itu adalah bentuk curahan hati (curhat) mereka sebagai pendidik yang mengalami langsung bagaimana situasi di lapangan. Tapi dari beberapa komentar tersebut memang ada hal-hal yang perlu diluruskan.
Tindakan kekerasan Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (W.W. Charters, 197).
Unsur terpenting pelaku dari corporal punishment seseorang atau sejumlah orang terdekat seperti guru, dosen, ustaz, dan lain-lain yang seharusnya memiliki otoritas dan kewajiban untuk melindungi anak.
Lebih lanjut lagi kekerasan dalam dunia pendidikan pada dasarnya bisa berbentuk fisik dan nonfisik. Kekerasan yang berbentuk fisik antara lain seperti memukul, menampar, menjewer, menyepak, membanting, dst.
Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga bisa berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst). Sementara kekerasan nonfisik dapat berbentuk kata-kata (verbal) seperti membentak, mengumpat, merendahkan, menghina, dst.
Dari penjelasan di atas tergambar bahwa kekerasan terhadap anak pada dasarnya bukan hanya berbentuk fisik, sebagaimana yang pada umumnya dipahami sepintas oleh guru di atas, akan tetapi juga meliputi kekerasan lisan (verbal) maupun seksual.
Reward (ganjaran, hadiah) dan punishment dalam dunia pendidikan pada umumnya dikorelasikan dan dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan, dukungan, motivasi) yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901).
Dorongan atau motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila reinforcement ini ditiadakan, maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah.
Dalam teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas. Oleh karena itu mereka harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility).
Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya.
Berkenaan dengan hal ini, menurut kaca mata Islam, konsep pemberian hadiah dan pemberian hukuman juga bukan merupakan terma yang asing lagi. Alquran al-Karim sendiri banyak memuat dan menyinggung kedua konsep ini, di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74, al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat 6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat 10 dan 21.
Seorang pemikir Islam terkemuka, al-Ghazali, berpendapat bahwa reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi di depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar anak-anak yang lain menjadi termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.
Reward dan punishment Dalam dunia pendidikan ada teori umum bahwa sistem pemberian reward dan punishment yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment tersebut dikurangi dan bahkan kalau bisa dihindari, sedangkan konsep pemberian reward lebih ditekankan aplikasinya. Dengan ungkapan lain konsep reward ini sudah semestinya lebih banyak menjadi penekanan dibandingkan punishment. Kalaupun punishment harus diberlakukan, maka bentuknya harus yang bersifat mendidik, bukan yang bersifat melukai fisik atau menjatuhkan aspek psikis si anak.
Proses pemberian hukuman (punishment) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan non fisik yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah saw sebagai sosok teladan seluruh umat manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan.
Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan (apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak diberikan hadiah.
Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustaz, dan lain-lain) dituntut untuk memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga sekaligus pembimbing (counsellor) dan suri teladan yang baik. Wallahu a’lam bis shawab.
Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh.
Sumber : Serambi Indonesia